03 Desember 2010

Because Life is an Adventure

Because Life is an Adventure

Beruntung saya bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Klo tidak mungkin seumur-umur nggak bakal merasakan deru pesawat saat take off dan terguncang2-guncangnya kursi yang diduduki karena pesawat mengerem sekuat tenaga saat landing.

Dari dulu saya senang jalan-jalan. Saat kecil, "gravel road" yang membelah persawahan adalah rute mingguan saya. Dengan bersepeda saya telusuri jalan yang minggu lalu belum saya lewati. Keluar masuk kampung, "mblusak-mblusuk" kebon, muter balik karena jalan buntu sudah biasa saya lakukan.

Saat itu sepeda yang saya gunakan adalah sepeda pemberian orang tua saat saya disunat, dengan gear yang sudah tidak bisa diubah percepatannya, dan dengan rem asal bisa berhenti. Biasanya saya berangkat setelah melihat film kartun kesayangan saya saat itu, Doraemon. Waktu-waktu seperti itu biasanya matahari sudah tinggi. Tapi di waktu-waktu seperti itu juga, pekerjaan rumah yang dibebankan pada saya sudah saya selesaikan. Sesekali adek-adek saya juga saya ajak, walaupun sangat jarang, saya lebih suka sendiri.

Ada sensasi sendiri saat menelusuri persawahan, suara dedaunan padi bergesekan diusik angin, berkelok-kelok menghindari kubangan air di sana-sini, jalan yang naik turun karena "mblesek" tak mampu menahan beban berbagai kendaraan yang lewat saat musim panen. Beristirahat di saluran irigasi juga menjadi saaat yang menyegarkan setelah nggowes lumayan lama.

Sering kali saya jalan-jalan tanpa uang sepeserpun. Modal nekat aja, sama sekali nggak kuatir kalo ban bocor, atau bahkan kehausan di jalan. Biasanya menjelang atau setelah dhuhur saya sudah sampai rumah lagi, yang langsung dengan rakus menyantap makan siang karena sudah kelaparan.

Setelah belajar motor, daya jelajah saya makin meluas. Banyak "sawah-sawah" baru yang baru pertama kali saya kunjungi. Dulu sering curi-curi waktu memakai motor saat sedang liburan, tapi tetap saja ketahuan karena motor jadi belepotan lumpur, sejak itu juga saya rajin mencuci motor setelah dipakai jalan-jalan. Saya masih inget, motor Yamaha Alfa 2 tak diajak gebar-geber di jalan berlumpur, mesakke tenan......

Setelah bekerja hobby saya jalan-jalan makin menjadi-jadi. Sarana ampuh buat mengusir kejenuhan. Dari ujung ke ujung pulau tempat saya bekerja sudah pernah saya tempuh dengan bersepeda motor, walau pun juga sesekali ada acara yang mengharuskan menggunakan mobil.

Bekerja, berpenghasilan, dan kenal internet, makin kecanduanlah saya. ternyata dunia ini begitu luas, ternyata masih banyak tempat-tempat yang belum saya jelajahi, ternyata banyak motor-motor bagus yang harganya sungguh tak terjangkau kantong saya, ngiler.com.

Maka saya mulai mengumpulkan sedikit-demi sedikit penghasilan untuk saya belikan motor yang "layak" untuk diajak keliling Indonesia, kenapa keliling Indonesia, karena saya pegawai pajak, yang sebelumnya sudah meneken kontrak siap ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Apalagi cerita teman-teman dari kantor lain lewat forum diskusi yang ada di intranet DJP, Forum Shalahuddin, daerah tempat kerja mereka juga sangat menantang untuk dijelajahi.

Sampai saat ini motor yang saya sebut layak ini masih belum terbeli, ada juga keinginan membeli motor idaman, tapi sepertinya motor idaman akan selamanya saya idam-idamkan karena harganya yang terjangkau oleh bapaknya yang maling, lah kok nyambung lagunya Iwan Fals? selamanya nggak akan kebeli, kecuali saya keluar dari pegawai negeri dan jadi pengusaha sukses.

Saya pikir motor layak sudah cukup untuk kondisi jalanan Indonesia, karena Indonesia tidak memerlukan teknologi yang ditanamkan pada motor-motor idaman, seperti heated seat dan heated grip (karena indonesia cukup sudah panas) juga tidak terlalu memerlukan rem yang mengadopsi teknologi ABS, karena jalanan di Indonesia bukan tipikal jalanan yang bisa buat ngebut. Indonesia juga tidak memerlukan motor berkapasitas mesin yang besar, 200-250 cc sudah cukup kencang melaju melibas dan menyalip motor-motor lain.

Beberapa kali perjalanan Tegal-Jakarta menggunakan mobil, apalagi mobil sendiri alhamdulillah, membuat saya berkeinginan menjajal keliling Indonesia dengan bermobil, minimal keliling Pulau Jawa, semoga cita-cita saya ini terkabul. Karena sensasi berkendara dengan mobil sungguh beda, apalagi istri saya sedikit-sedikit bisa nyetir, jadi bisa diajak gantian kalo saya sudah capai nyetir. Suasana kabin yang senyap, diiringi suara musik dari kaset sungguh membuat saya betah berlama-lama duduk di belakang kemudi.

Tapi saya lebih menikmati perjalanan dengan bermotor. Sensasi terpaan angin dan tetasan air hujan tidak dapat dirasakan saat bermobil. Oleh karena itu cita-cita terbesar saya ya keliling Indonesia dengan bermotor, mobil biarlah ditinggal saja di Tegal.

Kembali ke cerita perjalanan, dari internet pula saya mengenal banyak orang yang keliling dunia dengan motornya.
Menempuh segala resiko cuaca, menghadapi kendala bahasa dan sentimen rasial di setiap tempat yang dikunjungi, mengatasi segala rintangan akibat dari kendaraan yang rusak atau pun kondisi tubuh yang sedang tidak memungkinkan untuk berkendara. Dan saya sangat ingin merasakan sendiri sensasinya.

Karena hidup adalah petualangan, setiap hari yang kita lewati ada hal-hal baru yang belum pernah kita alami sebelumnya. Setiap hari ada halangan rintangan yang harus kita lewati untuk meneruskan perjalanan.

Karena hidup penuh petualangan, pengalaman perjalanan sebelumnya membuat kita lebih siap dalam merancang petualangan selanjutnya, siap dalam segi bekal dan kendaraan, siap fisik, siap mental. Begitu juga dalam hidup, permasalahan dan pengalaman yang telah kita hadapi menjadi bahan pertimbangan jika suatu saat menghadapi masalah yang lebih kompleks di kemudian hari.

Karena hidup adalah petualangan, kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di depan kita.
Let's ride the world.....!!!

15 Agustus 2010

The next destination: SELATAN BANGKA (part 2 - habis)

Balai Desa Payung, Ibukota kecamatan Payung



















Perempatan Utama Desa Payung












Kantor Pos Desa Payung



















Kantor Urusan Agama Kec. Payung, di samping kantor Pos





















Polsek Payung, seberang KUA

12 Juli 2010

The next destination: SELATAN BANGKA (part 1)

Touring saya kali ini lebih terencana dari pada minggu kemarin. Motor saya cek kondisi bannya, dan kebetulan memang ada sedikt bocor yang memaksa saya harus menunggu tukang tambal ban buka, karena saya memang terlalu pagi saat datang ke tempatnya.

Persiapan selanjutnya, bahan bakar ekstra, karena si Tibu tangkinya kecil dan jalan di daerah selatan Bangka jarang sekali ada SPBU. Solusi yang saya terapkan adalah membawa derijen buat nampung pertamax cadangan, lagi-lagi saya mempercayakan si Tibu disodori pertamax untuk perjalanan kali ini.

Pertamax daya isi di SPBU Kampung Keramat, 50 rebu, untuk si Tibu Cuma muat 20 rebu, masih sisa dari touring minggu sebelumnya, 30 rebu saya masukkan ke dalam derigen, maklum belum punya motor dengen tangki bensin besar. Saya lagi naksir Kawasaki D Trackerz nih, doain saya ya…

Bicara tentang rute perjalanan, Pangkal Pinang – Sungai Selan cukup padat dengan lalu-lalang kendaraan. Si Tibu tidak terlalu dibejek gasnya, sambil menikmati perjalanan pagi yang masih hangat. Yang disayangkan dalam touring kali ini, saya bener-bener melupakan mengingat-ingat jarak antar tempat, padahal hal ini bisa jadi referensi bagi rekan-rekan lain yang ingin menjajal rute yang saya lalui.

Sampai di pertigaan Simpang Katis saya membelokkan si Tibu ke arah kiri, yang memang sudah saya rencanakan. Jalur di sini aspalnya cukup mulus dengan kontur naik turun khas pebukitan. Jalan ini sangat tipikal jalan di Pulau Bangka, berpasir, jadi hati-hati saat menikung, terutama bagi pengendara sepeda motor.



sumber gambar


Sampai di desa Puput ada pertigaan lagi, klo lurus menuju Namang yang akan terus tembus ke Kota Koba, sedangkan belok kanan menuju Simpang Rimba. Saya memutuskan belok kanan untuk mencari sensasi baru jalanan di P.Bangka. Lagi-lagi saya menemui jalan aspal halus yang lengang, yang sangat enak untuk membejek throttle dengan bukaan penuh.





Jalan yang saya lalui merupakan jalan lintas tengah Pulau Bangka, walaupun nama resminya bukan jalan lintas tengah, sebut saja demikian karena memang melewati bagian tengah pulau ini. Perkebunan sawit tersuguhkan di kanan-kiri sepanjang jalan, tampaknya ada ekspansi besar-besaran perusahaan minyak sawit dalam membuka perkebunannya. Kebanyakan kebun sawit yang saya lalui merupakan kebun baru, yang masih belum berproduksi

Saya benar-benar keasyikan mengendarai si Tibu, jalan lengan, aspal halus, sangat memanjakan pengendara sepeda motor. Deretan pohon sawit seakan tak putus-putus. Mungkin saat ini Sawit lah yang jadi akan menjadi andalan warga Bangka Tengah pasca kejayaan tambang Timah.

Tak terasa saya sudah memasuki pintu gerbang Kabupaten Bangka Selatan. Berhenti dulu sebentar sambil mengabadikannya.

Dari sini saya memasuki kecamatan Payung, menurut perkiraan saya dari watu tempuh dan kecepatan saat itu, jarak antara gerbang ini dengan kecamatan Payung sekitar 15 km, mungkin perkiraan saya ini salah, tapi buat kira-kira saja tak apa lah.


sumber gambar

Memasuki Kecamatan Payung, lebih tepatnya Desa Payung saya memelankan si Tibu, ada yang tak beres dengan tutup lampunya, saat memasuki jalan jelek selepas gerbang tadi mungkin ada sesuatu yang kendor. Tak lama kemudian saya berhenti, pas di depan balai desa Payung.



sumber gambar

Selepas desa Payung si Tibu saya geber kembali. Tapi jalan jelek memaksa saya untuk tidak membejek throttle terlalu dalam. Rute Payung - Air Gegas yang saya lalui ini memang masih buruk kondisinya, apalagi genangan air hujan membuat lubang-lubang besar yang sedikit mengganggu kenikmatan berkendara. Hal ini berlanjut sampai memasuki desa Nyelanding, setelah melewati desa Sengir dan Bedengung yang masih masuk Kabupaten Bangka Selatan. di Desa Bedengung ada pertigaan dengan percabangan ke Batu Belubang dan ke Nyelanding - Air Gegas

Selepas desa Nyelanding hujan turun agak deras, mengharuskan saya berteduh sebentar, sekaligus ambil foto buat dokumentasi. Entah apa maksudnya, di papan penunjuk jalan di sebutkan "Desa Nyelanding 95 KM", 95 km dari mana?




sumber gambar

Buruknya kondisi jalan berlanjut tambah parah selepas desa Nyelanding, Bahkan di satu titik, karena terlalu parah kondisi jalan, memaksa kendaraan yang lewat harus satu-persatu terutama kendaraan roda empat. Kesempatan menunggu giliran lewat saya sempatkan mengambil gambar (klik gambar untuk memberbesar).



sumber gambar

Selepas desa Nyelanding, saya memasuki simpang Air Gegas. Persimpangan salah satu jalan utama P.Bangka. Di sini saya beristirahat dulu untuk meluruskan kaki dan mendinginkan mesin dan ban si Tibu.




sumber gambar


Sekitas lima belas menit kemudian saya melajukan kembali si Tibu. Jalan Air Gegas -Koba sangat mulus karena baru saja selesai di lebarkan dan diaspal kembali, salut kepada Pemda setempat. di jalan ini it's feel free to maximized your speed, kebut abis-abisan.... :-)

Memasuki desa Air Bara saya menurunkan tensi balap saya, dan berhenti sejenak untuk mengambil gambar berikut.





sumber gambar


Di Desa ini juga ada pertigaan yang mengarah ke desa Payung lagi, belok ke sana lagi ah....

Coba jalan baru, seperti yang saya bilang di post sebelumnya, berkendara di jalan yang sudah pernah dilewati sangt tidak bhidup, tidak berasa, dan kurang berkesan, maka saya belokkan motor ke arah kiri memasuki desa Payung lagi. Jaraknya sekitar 30 km.


sumber gambar

11 Juli 2010

Tour de Bangka

Sabtu siang (3/7/2010), mendadak saya pengen jalan-jalan. Bosan dengan rutinitas kantor-rumah yang tiap hari dilakukan, saya pun bersiap ala kadarnya. Dimulai dengan tidur dulu, lah mo jalan2 kok tidur dulu?. Iya, mata saya tiba-tiba tidak dapat diajak kompromi, mungkin karena sudah sepagian berada di depan computer.

Setelah tidur satu jam, dari setengah dua belas sampai pas waktu dhuhur, ya udah sekalian sholat dan berdoa semoga perjalanan tanpa rencana kali ini baik-baik saja.

Perjalanan kali ini menempuh bagian utara Pulau Bangka. Si Tibu, Supra X 125 PGMF1, motor saya, dikebut habis-habisan di jalan Pangkal Pinang – Sungailiat. Jalan lurus yang beraspal halus membuat Tibu meliuk-liuk melibas kendaraan di depannya dengan kecepatan berkisar antara 90-110 km/jam.

Jalur Pangkal Pinang – Sungailiat merupakan jalur padat karena menghubungkan dua kota utama Pulau Bangka. Tampaknya jalan satu lajur di kanan dan di kiri sudah tidak muat lagi menampung beban lalu lintas di rute ini. Pelebaran jalan adalah solusi cerdas untuk mengatasi masalah ini.

Oke lanjut lagi cerita touringnya. Jalur padat ini sangat enak untuk memacu kendaraan apalagi sepeda motor karena dapat meliak-liuk di antara kendaraan lain yang berjalan pelan karena ada satu kendaraan di depannya yang berjalan pelan. Di jalur ini salip-menyalip antara kendaraan beroda empat ke atas sulit, harus menunggu kondisi jalan agak lengang baru bisa overtacking kendaraan di depan.

Sampai kota Sungailiat, ngisi Pertamax dulu ah….

Antrian bensin waktu itu sangat panjang, entah kenapa bensin jadi ikut-ikutan langka mengikuti sodara tirinya, Solar, yang sudah dari dulu diburu karena ada aktifitas penambangan. Begitu masuk SPBU saya langsung ikut ngantri di barisan mobil, karena posisi pengisian pertamax ada di sana, sedangkan barisan motor full, panjang mengular sampai setengah jalur masuk. Salut buat SPBU Sungailiat yang udah nyediain pertamax, jadi saya nggak perlu ngantri lama-lama hanya untuk mengisi bahan bakar motor saya.

Setelah diisi pertamax, laju si Tibu makin tak terbendung, lah wong minum bensin aja gila-gilaan di jalur Pangkal Pinang – Sungailiat. Jalur Sungailiat – Belinyu lebih sempit lagi daripada jalan Pangkal Pinang – Sungailiat, tapi jauh lebih sepi, jadi si Tibu makin kenceng digeber. Adalagi yang membedakan belahan utara Bangka, yaitu curah hujannya yang lebih tinggi, walaupun tanpa data statistik, tapi setidaknya dalam tiga kali saya touring ke sana pasti cuaca mendung, walaupun juga saat itu adalah musim kemarau. Tapi malah enak touring dalam cuaca mendung, adem.

Rencana awal Belinyu lah yang akan tuju, tapi kok penasaran sama jalan yang menunjukan arah Mentok, di bagian barat Pulau Bangka, apaemang ada jalan nyambung ke Mentok? Akhirnya si Tibu saya belokan ke kanan setelah sebelumnya istirahat sejenak di tugu pertigaan.

Jalur ini menghubungkan Simpang Lumut di rute Sungailiat – Belinyu dan Pertigaan Puding Gebak di rute Pangkal Pinang – Mentok. Rute ini berjarak sekitar 30 km jarak, cukup dekat menurut saya, tapi pemandangan alam yang disuguhkan sangat fantastis. Jalur awalnya dilatar belakangi oleh deretan Gunung Mangkol yang tampak hijau di kejauhan. Saya paling ingat momen ketika ada view jembatan yang lumayan panjang dengan deretan bukit itu sebagai latarnya, keren abis, ditambah suasana mendung, serasa bukan di Pulau Bangka.

Di samping jembatan tersebut ada rumah makan, sepertinya si pemilik warung mengerti betul bahwa tempat itu bisa juga dibuat objek wisata alternatif selain wisata pantai yang memang terkenal di Pulau Bangka. Warung tersebut terletak di samping sungai di bawah permukaan jalan, maksudnya tanah tempat warung itu berderi memang agak turun, jadi kayaknya enak tuh buat istirahat sambil ngliatin lalu-lalang kendaraan yang lewat di atas jembatan. Minimal ada 3 view yang bisa dilihat dari warung ini, jalan, sungai dan gunung. Sayang saya nggak bisa mampir, hanya sekedar memperlambat laju kendaraan sekedar menangkap kesan di sekitar jalan.

Jalan mulai menanjak selepas jembatan tersebut. Menyisir bukit mangkol hawa dingin makin menusuk menerpa kaki yang memang tidak bersepatu. Sayangnya jalan itu tidak terlalu dekat ke Bukit Mangkol, hanya terlihat lintasan bukit di sebelah kiri jalan dan klo tidak salah lihat ada tiga puncak bukit di sana. Tapi suasana yang di dapat, seperti berkendara di daerah dingin di jalur lintas tengah Jawa Tengah. Hutan di kanan kiri jalan, suasana sejuk yang menerpa, jalan basah karena habis hujan, benar-benar lain dari tipikal jalan di pulau Bangka yang biasanya panas, berpasir dan dengan deretan rumput ilalang tinggi di kanan kiri jalan.

Jarak kurang lebih 30 km hanya sebentar saja saya nikmati, rute ini lalu bertemu dengan pertigaan dengan arah kiri menuju Pangkal Pinang dan arah kanan menuju Mentok. Pada beberapa peta pertigaan ini di sebut Puding Gebak. Walaupun saat saya bertanya pada penduduk sana saat istirahat membei minuman nama daerah ini disebut Maras Senang, masuk ke Kecamatan Bakam kabupaten Bangka. Ini menjawab pertanyaan saya saat memasuki rute ini, saat itu saya liat “PDG GBK 28”, saya penasaran kota apakah PDG GBK?

Berkendara di jalan yang sudah pernah kita lewati kadang membuat kita tidak menikmati lagi jalan itu, saya serasa kehilangan kesadaran, hanya mengikuti kebiasaan saja lika-liku salah satu jalan utama di Pulau Bangka. Rute Maras Senang sampai Puding saya lewati dengan tanpa terasa dan tidak terlalu saya nikmati. Masuk desa Puding, saya penasaran dengan penunjuk jalan ke arah Sungailiat, coba ah, piker saya. Akhirnya si Tibu saya arahkan kembali ke jalan antah berantah yang tidak pernah saya lewati, suasana lain begitu terasa, kali ini pemandangan di dominasi perkebunan sawit. Tipikal jalan berpasir Pulau Bangka kembali saya temui, yang memaksa pengendara motor harus berhati-hati saat memasuki tikungan kalo tidak mau tergelincir.

Saya penasaran karena dulu pernah bermobil kebablasan saat menuju Pamandian Air Panas Pemali. Arah Pemali yang belok kanan dari arah Sungailiat tapi saya malah lurus, yang akhirnya memaksa saya putar balik. Rupanya benar, jalan ini menembus ke Pemali, walaupun jaraknya lumayan jauh dari tempat saya membelok kembali saat bermobil dulu.

Oke, kita masuk ke kota Sungailiat lagi. Melewati Pemali yang lumayan ramai, saya memperlambat laju Si Tibu. Beberapa angkot carteran berkonvoi pulang dari salah satu wisata air panas di Pulau Bangka, saat ini memang masih dalam suasana liburan sekolah.

Saya melirik indikator bensin, sudah berkurang separo, sekalian tes aja konsumsi bahan bakar dalam perjalanan kali ini. Memasuki SPBU, antrian panjang motor pengantri bensin sudah tidak terlihat lagi.

“Full mbak”, kata saya. 2.87 liter. Dengan jarak tempuh 130 sekian kilometer (jarak Pangkal Pinang – Sungailiat saat berangkat tidak saya hitung), jadi kalo dirata-ratakan si Tibu saya meminum bahan bakar 45 sekian km perliternya, ini bukan pertamax murni, karena sebelum mengisi pertamax sebelumnya ada beberapa liter premium dalam tangki si Tibu.

Akhirnya jam 5 sore saya sampai kembali ke Kota Pangkal Pinang dibawah guyuran hujan lebat.

Demikian sudah perjalanan kurang lebih 200 km saya hari itu.

25 Mei 2010

a new baby born...

Jinak-jinak merpati

si burung betina, Endang Sri Sukamti



pasangan serasi, si jantan bernama Soekamto



Kamto mulai membangun sarangnya, mengumpulkan ranting2 pohon



Telor pertama....

Pagupon kandange doro, melok nippon uripe soro

pagupon dalam proses, rencana bikin 6 kandang, walopun baru punya sepasang



sudah mulai berbentuk


sudah berdiri tegak di belakang rumah dinas